Sabtu, 05 Desember 2015
Corynebacterium diphtheria
Corynebacterium diphtheriae
Abstrak
Corynebacterium
diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif
dan gram positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak
bergerak. Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3 biovar,
yaitu gravis, mitis, dan intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat
dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi,
atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri yang berada dalam tubuh akan
mengeluarkan toksin yang aktivitasnya menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini
biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama terutama laring, amandel dan
tenggorokan. Penyakit ini sering kali diderita oleh bayi dan anak-anak.
Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan pemberian antitoksin difteri untuk
menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau penisilin untuk membunuh
bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi
dengan vaksin DPT.
Klasifikasi Ilmiah
Kerajaan : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Familia :
Corynebacteriaceae
Genus : Corynebecterium
Spesies : Corynebacterium diphtheriae
Nama
Binomial
Corynebacterium
diphtheriae
Kruse,
1886
Morfologi
dan Identifikasi
Korinebakteria
berdiameter 0,5 – 1 µm dan panjangnya beberapa mikrometer. Ciri khas bakteri
ini adalah pembengkakan tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan
bentuk seperti ”gada”. Di dalam batang tersebut (sering di dekat ujung) secara
tidak beraturan tersebar granula-granula yang dapat diwarnai dengan jelas
dengan zat warna anilin (granula
metakromatik) yang menyebabkan batang tersebut berbentuk seperti tasbih. Tiap korinebakteria pada
sediaan yang diwarnai cenderung terletak paralel atau membentuk sudut lancip
satu sama lain. Percabangan jarang ditemukan dalam biakan.
Penentu Patogenitas
Patogenisitas
Corynebacterium diphtheriae mencakup
dua fenomena yang berbeda, yaitu
1.
Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan
kolonisasi dan proliferasi bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang
mekanisme kepatuhan terhadap difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan
beberapa jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat dalam kolonisasi
tenggorokan.
2.
Toxigenesis : produksi toksin bakteri. Toksin
difteri menyebabkan kematian sel eukariotik dan jaringan oleh inhibisi sintesis
protein dalam sel. Meskipun toksin bertanggung jawab atas gejala-gejala
penyakit mematikan, virulensi dari C. diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan
toxigenesis saja, sejak fase invasif mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak
perbedaan. Namun, belum dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting
dalam proses penjajahan karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi.
Patogenesis
Di
alam, Corynebacterium diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan,
dalam luka- luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang
membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu
yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet,
dan bakteri mulai menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara in vitro
terutama bergantung pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi
0,14 µg/ml perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 µg/ml. Faktor lain yang mempengaruhi
timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino, pH, dan
tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok.
Toksin
difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat mematikan
pada dosis 0,1 µg/kg. Bila ikatan disulfida dipecah, molekul dapat terbagi
menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B tidak mempunyai
aktivitas tersendiri, tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam
sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD) dengan
menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan untuk
translokasi polipeptidilRNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada ribosom
eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis reaksi
yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin
difosfat-ribosa-EF-2m yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan neurotoksik toksin
difteria disebabkan oleh penghentian sintesis protein yang mendadak.
Patologi
Toksin
difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan destruksi epitel dan
respons peradangan superfisial. Epitel yang mengalami nekrosis tertanam dalam eksudat
fibrin dan sel-sel darah merah dan putih, sehingga terbentuk ”pseudomembran” yang
berwarna kelabu –yang sering melapisi tonsil, faring, atau laring. Setiap usaha
untuk membuang pseudomembran akan merusak kapiler dan mengakibatkan pendarahan.
Kelenjar getah bening regional pada leher membesar, dan dapat terjadi edema
yang nyata di seluruh leher.
Corynebacterium
diphtheriae dalam selaput terus menghasilkan toksin
secara aktif. Toksin ini diabsorbsi dan menakibatkan kerusakan di tempat
yang jauh, khususnya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, dan nekrosis
otot jantung, hati, ginjal, dan adrenal, kadang-kadang diikuti oleh
pendarahan hebat. Toksin juga mengakibatkan kerusakan syaraf yang sering
mengakibatkan paralisis palatum molle, otot-otot mata, atau ekstremitas.
Penyakit
Corynebacterium
diphtheriae menyebabkan infeksi akut yang dikenal
dengan penyakit difteri. Bakteri ini biasanya menyerang saluran
pernafasan, terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Tetapi tak jarang
racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakan saraf dan
jantung.
Gejala
diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang
diikuti demam, mual, muntah, menggigil, sakit kepala, suara parau, nyeri
menelan, dan nyeri otot. Juga sering terjadi pembengkakan kelenjar getah
bening di leher.
Gambaran klinis
Masa
inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis,
akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manifestasi,
tergantung pada tempat penyakit.
1)
Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan
keluarnya cairan hidung mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin
darah menjadi kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin
di lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi
antibiotik.
2)
Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling
umum adalah infeksi faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit
tenggorokan, anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh
jika toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan
mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit yang
parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah submandibular dan leher anterior
bersama dengan limfadenopati.
3)
Difteri laring : Difteri laring dapat berupa
perpanjangan bentuk faring. Gejala termasuk demam, suara serak, dan batuk
menggonggong. Membran dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan
kematian.
4)
Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah
tropis. Infeksi kulit dapat terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan
membran yang jelas. Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva
dan daerah vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal.
Kebanyakan
komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh toksin
terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah
miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal
dan dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal,
sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan
dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan kelumpuhan diafragma dapat terjadi
pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.
Komplikasi
lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan
napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri
adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun,
tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun
terakhir.
Cara
Penularan
Bakteri
ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam
tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar
melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh,
terutama jantung dan saraf.
Diagnosis
Diagnosis
klinik difteri tidak selalu mudah ditegakkan oleh klinikus- klinikus dan sering
terjadi salah diagnosis. Hal ini terjadi karena strain C. Diphtheriae baik yang
toksigenik maupun nontoksigenik sulit dibedakan, lagipula spesies
Corynebacterium yang lain pun secara morfologik mungkin serupa. Karena itu bila
pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kuman khas difteri, maka hasil presumtif
adalah: ditemukan kuman-kuman tersangka difteri. Hal ini menunjukkan pentingnya
dilakukan diagnosis laboratorium secara mudah, cepat, dan dengan hasil yang
dipercaya untuk membantu klinikus. Walaipun demikian, diagnosis laboratorium
harus dianggap sebagai penunjang bukan pengganti diagnosis klinik agar
penanganan penyakit dapat cepat dilakukan. Hapusan tenggorok atau bahan
pemeriksaan lainnya harus diambil sebelum pemberian obat antimikroba, dan harus
segera dikirim ke laboratorium.
Pengobatan
Antitoksin
difteri diproduksi dari kuda, yang pertama kali digunakan di Amerika Serikat
pada tahun 1891. Pengobatan difteri dilakukan dengan pemberian antitoksin yang
tepat jumlahnya dan juga cepat. Antitoksin dapat diberikan setelah diagnosis
presumtif keluar, tanpa perlu menunggu diagnosis laboratorium. Hal ini
dilakukan karena toksin dapat dengan cepat terikat pada sel jaringan yang peka,
dan sifatnya irreversibel karena ikatan tidak dapat dinetralkan kembali. Jadi
penggunaan antitoksin bertujuan untuk mencegah terjadinya ikatan lebih lanjut
dari toksin dalam sel jaringan yang utuh dan akan mencegah perkembangan
penyakit.
Selain
antitoksin, umumnya diberi Penisilin atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin
atau Eritromisin yang bermaksud untuk mencegah infeksi sekunder (
Streptococcus) dan pengobatan bagi carrier penyakit ini. Pengobatan dengan
eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40 mg / kg / hari, maksimum, 2
gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain G harian, intramuskular
(300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan 600.000 U /
sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari
Pencegahan
Pencegahan
infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan tidak
melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu, imunisasi aktif
juga perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia 2-3 bulan
dengan pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan dengan
toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua diberikan pada saat anak akan
bersekolah.Imunisasi pasif dilakukan dengan menggunakan antitoksin berkekuatan
1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang sering berhubungan dengan kuman yang
virulen, namun penggunaannya harus dibatasai pada keadaan yang memang sanagt
gawat. Tingkat kekebalan seseorang terhadap penyakit difteri juga dapat
diketahui dengan melakukan reaksi Schick.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar